Banjarmasin
yang berdimensi lima diarahkan pembangunannya sebagai Kota
Pemerintahan, Perdagangan, Pelabuhan, Industri dan Pariwisata. Dalam
semua upaya tadi, Sungai Barito menduduki tempat yang utama. Kehidupan
di kota Banjarmasin memang tidak terpisahkan dari Sungai Barito beserta
anak-anak sungainya. Terletak dipertemuan antara Sungai Barito dan
Sungai Martapura, kota ini strategis sekali untuk perdagangan.
Sungai
Barito yang luas dan dalam, Sungai Martapura yang dapat dilayari
kapal-kapal besar, memuat kapal-kapal Samudera dapat merapat hingga kota
Banjarmasin, yang terletak 22 km dari laut Jawa.
Pada zaman
Belanda, Banjarmasin menjadi pelabuhan masuk dan keluar bagi seluruh
daerah aliran Sungai Barito dan merupakan pelabuhan transito untuk
kapal-kapal yang datang dari Singapura dan Jawa, ke pantai timur
Kalimantan.
Dari Kalimantan, dikirim keluar barang-barang hasil
hutan seperti rotan, damar, kapur baruskaret, jelutung, tikar purun,
telur itik, buah-buahan, barang anyaman rotan, batu-batuan dan berlian.
Barang yang masuk terdiri dari beras, ikan asin, barang, barang pecah
belah, minyak tanah, garam, besi dsb.
Industri orang Eropa pada
waktu itu terdiri dari pabrik es, galangan kapal yang kecil milik Borneo
Industri Mij dan perdagangan yang dikelola oleh Borneo Soematra Handel
Mij, Heinneman & Co, dan Kantor Cabang dari Javasche Bank en
Factorij.
Pada masa itu, banjarmasin mempunyai pelayaran yang
teratur dan langsung dengan Sampit, Kotabaru, Samarinda, Martapura,
Marabahan, negara, Amuntai, Buntok, Muara Teweh dan Kuala Kapuas dan
diluar Kalimantan dengan Surabaya dan Singapura.
Sampai kinipun
kehidupan sungai tetap dominan di Banjarmasin. Sebagai salah satu
indikasinya, di depan Kantor Walikota dibangun sandaran perahu untuk
tamu-tamu dan para tamu dan pejabat pemerintah yang hendak menyusuri
sungai. Sekitar 200 m dari tempat tersebut terdapat terminal perahu
antar kota di Kalimantan Selatan, bahkan sampai ke Kalimantan Tengah.
BANJARMASIH
Nama
Banjarmasin berasal dari istilah Banjarmasih. Disebut demikian karena
Patihnya disebut Patih Masih, atau Patih Oloh Masih. Oloh Masih dalam
bahasa Ngaju berarti orang Melayu. Banjarmasih berasal dari Desa Oloh
Masi atau Kampung Melayu.
Nama Banjarmasih inilah kemudian
disebut orang Belanda Banjarmasih. Sampai dengan tahun 1664 surat-surat
Belanda ke Indonesia untuk kerajaan Banjarmasin masih menyebut Kerajaan
Banjarmasin dalam ucapkan Belanda "Bandzermash ", karena sulit
mengucapkannya.
KERAJAAN BANJAR
Pangeran Samudera diangkat
menjadi raja oleh Patih Masih, Patih Balit, Patih Muhur dan Patih
Balitung. Di Kampung Banjarmasih didirikan sebuah keraton, dengan rumah
asal, rumah Patih Masih sendiri.
Kampung Banjarmasih disebut
sampai sekarang Kampung Keraton. Di sini terdapat kuburan Raja Banjar
yang pertama sampai dengan ketiga. Kemudian diadakan penyerbuan ke
Bandara Muara Bahan dan semua penduduknya para pedagang pindah ke
Banjarmasin. Penyerbuan ke Muara Bahan menimbulkan peperangan dengan
Negara Daha. Pangeran Tumenggung dengan armada sungainya menyerang
Banjarmaisih.
Di ujung Pulau Alalak terjadi peperangan sungai
yang hebat, tetapi Pangeran Tumenggung, armadanya hancur oleh Pangeran
Samudera. Sejak itu terjadi perang yang berlarut-larut. Banjar minta
bantuan Demak, tetapi Demak mau membantu kalau Banjar mau masuk Islam.
Pangeran
Samudera setuju dan tentara Demak datang bersama Khatib Dayan yang akan
meng-Islam-kan rakyat.Setelah Demak datang, mereka menunggu musim panas
dan panen selesai untuk logistik tentara dan makanan rakyat. Pasang
sungai musim panas memungkinkan kapal-kapal besar sampai ke Daha. Tiga
hari sesudah Hari Raya Fitri diadakan peng-Islam-an atas rakyat, barulah
berangkat ke pedalaman penggempur Negara Daha.
Persiapan
terakhir peperangan ini, dilakukan pada tanggal 6 September 1526 setealh
hampir 40 hari bertempur. Di Jingah Besar, Pangeran Samudera dapat
mengalahkan pasukan Daha. Ini merupakan kemenangan besar yang pertama.
Yang terakhir dilakukan pad tanggal 24 September 1526.
Pertempuran
tak lagi dilakukan antara pasukan dan pasukan, tetapi antara raja yang
bermusuhan yang beragama Syiwa, dengan yang beragama Islam. Pangeran
Tumenggung melawan Pangeran Samudera. Pangeran Samudera tidak mau
melawan pamannya pangeran Tumenggung. Ia membuang senjatanya dan
pamannya iba hatinya. Ia memeluk kemenakannya itu dan mengalah, ia
menyerahkan semua regalia kerajaan dan tahta kepadanya.
Setelah
Negara Daha kalah, semua penduduknyanya diangkut ke Banjarmasin.
Penduduk Ibukota Kerajaan itu terdiri dari penduduk yang lama, penduduk
Bandar Muara Bahan dan penduduk kota lama Negara Daha.
Demikianlah tanggal 24 September 1526 hari Sabtu Pon dijadikan :
1. Hari kemenangan Pangeran Samudera, cakal Bakal dynasti Kerajaan Banjar.
2. Hari diserahkannya regalia kerajaan Negara Daha dan dihistuakannya Pangeran Samudera oleh Pangeran Tumenggung.
3. Hari ketentuan Banjarmasih menjadi Ibu Kota Kerajaan baru yang menguasai pantai dan pedalaman di Kalimantan Selatan.
Banjarmasin
Nama
Kota Banjarmasih berubah akibat Belanda. Mula-mula Belanda masih
menyebut Banjarmasih dalam ucapan Belanda "Bandzermash". Kemudian
sesudah tahun 1664 berubah menjadi Banjarmassingh.
Di pertengahan
abad ke-19 dalam semua surat-surat Belanda ke Indonesia nama kota itu
berubah menjadi Banjarmasin. Setelah jaman Jepang sebutan itu berubah
kembali menjadi Bandjarmasin. Terakhir setelah berlaku ejaan baru
Indonesia, kota itu menjadi BANJARMASIN.
Senin, 01 Desember 2014
Kamis, 27 November 2014
SEJARAH BENTENG MADANG & MONUMEN PROKLAMASI 17 MEI 1949
Benteng
Madang terletak di Desa Madang Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai
Selatan (Kalimantan Selatan). Jarak antara Desa Madang dengan Banjarmasin
sekitar 140 km. Benteng Madang dibangun seiring dengan pecahnya Perang Banjar
melawan penjajah Belanda di Bumi Lambung Mangkurat. Benteng ini terdapat di
atas Gunung Madang salah satu dari bagian Pegunungan Meratus. Tempat tersebut
sangat strategis untuk pertahanan, karena bila kita berada di tempat tersebut,
maka daerah sekeliling dapat terlihat dengan mudah. Benteng tersebut
dikelilingi oleh hutan semak belukar di sana–sini ditumbuhi bambu.
Gunung
Madang identik dengan Benteng Madang dengan luas sekitar 400 m2. Di kaki Gunung
Madang terdapat aliran-aliran sungai yang di tepinya banyak ditumbuhi ilalang
dan pohon bambu. Pada aliran-aliran sungai yang mendekati tempat penyeberangan
diadakan titian atau jembatan-jembatan yang apabila diinjak titian ini
bergerak, dan kalau jatuh besar kemungkinan tertusuk benda tajam yang sengaja
dipasang oleh pejuang-pejuang Antaludin. Akibatnya tidak hanya luka-luka bahkan
tidak jarang mengakibatkan kematian. Masyarakat menyebutnya sebagai “jembatan
serongga”. Jembatan-jembatan tersebut sengaja dibuat oleh pejuang-pejuang
Antaludin agar apabila musuh ingin memasuki daerah Gunung Madang akan terhalang
atau mudah diketahui.
Untuk
memperkokoh pertahanan Benteng Madang diberi perlindungan dari pepohonan agar
gelap di sang hari. Pada bagian lain dibuat jalan rahasia untuk keluar pabila
kemungkinan seangan musuh bisa tembus. Konon pernah serdadu Belanda mengadakan
penjajakan untuk melihat dari dekat keadaan Benteng Madang, tetapi mereka tidak
melihat apa- apa kecuali hutan semak belukar. Keadaan yang ganjil ini membuat
serdadu Belanda penasaran. Sehingga suatu waktu tempat tersebut ditembaki oleh
serdadu Benda dari jarak jauh. Ketika para serdadu Belanda tersebut kelelahan
dan kehausan, mereka meminta air kelapa muda kepada masyarakat, tetapi yang
terjadi setelah mereka meminum semua sakit perut dan ada yang meninggal.
Taktik
gerilya yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Antaludin membuat pemerintah
kolonial Belanda kebingungan dan putus asa. Banyak serdadu Belanda yang
terbunuh. Para pejuang Antaludin tidak pernah menyerah dan Benteng Madang tidak
pernah direbut Belanda. Baru ketika benteng tersebut ditinggalkan oleh
pejuang-pejuang Antaludin untuk bergerilya ke berbagai lokasi pertempuran,
tentara Belanda menemukan tempat kosong setelah dengan susah payah berusaha
mengepung untuk merebutnya. Sejarah telah mencatat Perang Banjar dimulai sejak
penyerangan terhadap tambang batu bara Belanda Oranye Nassau di Desa Pengaron
yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dengan mengerahkan pasukan Muning pimpinan
Sultan Kuning.
Peristiwa
ini terjadi pda tanggal 28 April 1859. Pangeran Hidayat memerintahkan kepada
Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat penyerangan terhadap tambang
batu bara Oranye Nassau milik Belnda tersebut. Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan
massa lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar. Kemudian serentak
rakyat Banjar bangkit mendukung perjuangan Pangeran Antasasri untuk mengusir
Belanda dari tanah Banjar. Selanjutnya Perang Banjar berlangsung sampai dengan
tahun 1904, suatu peperangan yang sangat melelahkan karena tergolong perang
kolonial yang paling lama di Indonesia. Pangeran Antasari dan Demang Lehman
meminta kepada Tumenggung Antaludin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung
Madang. Benteng Madang dibangun di sebuah puncak gunung di Desa Madang.
Bangunan benteng dari bahan kayu madang yang ada di sekitarnya serta pagar
hidup dari pohon bambu dengan luas kurang lebih 400m2 bertingkat dua, agar
mudah mengintai musuh dari bagian teratas.
Benteng
ini diberi perlindungan agar gelap pada siang hari dan dibuat jalan rahasia
untuk keluar. Hal ini untuk memperkuat pertahanan dan tentara Belanda sulit
merebut tempat ini. Tercatat ada lima kali serangan Belanda terhadap benteng
ini. Tanggal 3 September 1860 terjadi serangan mendadak oleh pasukan infantri
Belanda sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda bergerak dari
Benteng Amawang Belanda menyelusuri Desa Karang Jawa dan Desa Ambarai langsung
menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu
terjadi serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali
lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar
menyambutnya. Sehingga serdadu Belanda mundur kembali ke benteng Amawang di
Kandangan. Tanggal 4 September 1860 pasukan infantri Belanda dari batalyon ke
13 melakukan serangan kedua kalinya.
Pasukan
Belanda dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian (nara
pidana) untuk membawa perlengkapan perang yang dijadikan umpan dalam pertempuran.
Serdadu Belnda melemparkan 3 geranat tetepi tidak berbunyi dan disambut dengan
tembakan dari dalam benteng. Ketika Letnan De Bouw dan Sersan De Varies menaki
Gunung Madang hanya diikuti serdadu bangsa Belanda, sedangkan serdadu bangsa
bumiputera membangkang tidak ikut bertempur. Dalam pertempuran Letnan De Brouw
kena tembak di paha, sehingga serdadau Belanda mundur dan kembali ke Benteng
Amawang. Tanggal 13 September 1860 serangan ketiga Belanda terhadap Benteng
Madang dipimpin oleh Kapten Koch dengan bantuan serdadu Belanda dari
Banjarmasin dan Amuntai. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi
Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin dengan gagah berani menghadapinya.
Disaat bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena
tembakan.
Pasukan
Belanda dan Kapten Koch kembali mundur ke Benteng Amawang. Kegagalan serangan
ketiga ini membuat belanda sangat malu karena tersebar sampai ke Banjarmasin.
Tanggal 18 September 1860 serangan Belanda yang keempat dipimpin oleh Mayor Schuak
dengan pasukan infantri batalyon ke 13 yang terdiri dari beberapa opsir bangsa
Belanda, dibantu oleh Kapten Koch dengan membawa sebuah heuwitser, sebuah
meriam berat dan morter. Menjelang pukul11.00 siang hari Demang Lehman memulai
menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. Letnan Verspyck yang berani
mendekati benteng dengan pasukannya kena tembak oleh anak buah Tumenggung
Anataludin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch
memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa
meriam itu dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan
dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin
pasukan infantri maju kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan
jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan
komando. Dengan bergegas pasukan Belanda menggotong tubuh Kapten Koch dan
meninggalkan medan pertempuran, mengundurkan diri kembali ke Benteng Amawang.
Setelah serangan keempat ini gagal Belanda mempersipkan kembali untuk
penyerangan yang kelima.
Demang
Lehman dan Tumenggung Antaludin juga mempersiapkan siasat dan strategi untuk
menghadap serangan besar-besaran Belanda dengan keluar dan tidak berpusat
bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari pasukan Kiai
Cakra Wati pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari Gunung
Pamaton. Tanggal 22 September 1860 Belanda dengan persiapan teliti, belajar
dari kegagalan dan beberapa kali dipermalukan dari empat kali serangan, Belanda
mempersiapkan bidak-bidak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan
sistem pengepungan Benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi esok harinya
dengan tembakan meriam dan lemparan geranat. Menjelang pukul 11.00 malam hari,
tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin mengadakan serangan
besar-besaran dengan berbagai jenis senapan yang dimiliki. Pertempuran berkobar
hingga menjelang subuh. Karena pertempuran berlangsung di malam hari yang gelap
gulita pasukan Belanda kehilangan komando.
Situasi
yang tegang ini digunakan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin beserta pasukannya
untuk keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng dan selanjutnya
berpencar. Suatu strategi yang dilakukan oleh Demang Lehman dan Tumenggung
Antaludin utuk menghindari kehancuran pasukannya. Sementara Kiai Cakrawati dan
pasukannya juga berhasil meneruskan perjalanan menuju Gunung Pamaton. Sementara
itu dengan hati-hati pasukan Belanda memasuki benteng untuk menghancurkan
kekuatan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin, tetapi alangkah kecewanya
Belanda ternyata benteng sudah kosong dan hanya ditemukan satu orang mayat yang
ditinggalkan.
Demikian
lah sejarah singkat Benteng Madang, sebuah tempat pertahanan para pejuang
Perang Banjar di daerah Hulu Sungai Selatan (Kandangan) dalam menghadapi
pasukan Belanda. Pada dasarnya benteng tersebut tidak berhasil direbut Belanda karena
Benteng Madang ditinggalkan oleh pejuang Banjar kemudian melanjutkan perlawanan
berikutnya ditempat lain yang lebih strategis. Pasukan Demang Lehman dan
Tumenggung Antaludin sampai akhir hayatnya tidak pernah menyerah kepda Belanda
Dengan susah payah, biaya yang besar dan dengan perang yang melelahkan serta
banyaknya korban, Belanda sangat malu dan dikecewakan karena benteng yang akan
direbut tidak lebih hanyalah tempat kosong belaka.
Sekarang
lokasi situs Benteng Madang tetap terpelihara, sebagai situs sejarah dengan
juru peliharanya. Bila sejarah adalah pertangungjawaban masa silam, maka situs
Benteng Madang dengan segala kejadiannya merupakan saksi sejarah bahwa disini
di bumi Banjar telah terjadi suatu peristiwa kepahlawanan untuk melawan
kolonial Belanda. Pejuang Banjar di sini secara konsekwen dan konsesten
memegang prinsip “HARAM MANYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING”. Suatu slogan dalam kehidupan
orang Banjar dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang.
Gambar Monumen Proklamasi 17 Mei 1949
Monumen
Proklamasi 17 Mei 1949, adalah monumen untuk memperingati tentang
Proklamasi rakyat di Kalimantan Selatan. Proklamasi 17 Mei 1949 merupakan suatu
usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945) oleh
rakyat di Kalimantan Selatan, yang menyatakan bahwa wilayah Kalimantan Selatan
merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang mana
Monumen 17 Mei 1949 ini diresmikan tanggal 10 November 1986 oleh Gubernur
kepala daerah TKI Kalimantan Selatan yaiti Ir.H.M.SAID.
Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan itu pada kenyataannya
tidaklah mudah, karena para pejuang harus melewati serangkaian perjuangan fisik
dalam kurun waktu sekitar tahun 1945-1949. Dari Monumen Proklamasi 17 Mei 1949
di situ kita bisa melihat riwayat dari Pergerakan atau perlawanan serta
keinginan rakyat Indonesia Khususnya di Kalimantan Selatan untuk merdeka
(terbebas dari semua hal-hal yang berbau penjajahan). Maka dari situlah Rakyat Indonesia di Kalimantan
Selatan berupaya untuk merdeka.
Selain itu juga terdapat beberapa lukisan yang ada disamping
kiri dan kanan dari Monumen Proklamasi tersebut yang mana gambaran atau lukisan
itu menceritakan perjalanan Divisi IV tentang usaha rakyat di Kalimantan
Selatan untuk Merdeka.
- Di bawah ini adalah gambar atau lukisan pertama yang ada disamping kiri kalau dilihat dari depan Monumen Proklamasi 17 Mei
Dari
gambar tersebut menceritakan pawai merah putih
se Kalimantan Selatan pada tanggal 10 oktober 1945, yang mana pawai
merah putih ini menceritakan keinginan rakyat di Kalimantan Selatan untuk tetap
bersatu dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mana sebelumnya masih
terpisah, pawai merah putih itu merupakan refliksi dari keinginan rakyat untuk
bersatu di bawah kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI).
- Di lukisan kedua yaitu menceritakan tentang Pertempuran 9 November 1945 di Banjarmasin
Dari
gambar tersebut menceritakan tentang pertempuran di Banjarmasin melawan sekutu
yang bertepatan di dekat Polda Kal-sel pada saat ini, dan disitulah dulu
terjadi pertempuran 9 November 1945 bangsa Indonesia di Kalimantan Selatan
melawan sekutu. Kemudian ada juga Monumen 9 November di Pengambangan Banua
Anyar sama seperti yang di kantor KPN tadi. Dan dari pertempuran melawan sekutu
tersebut maka dibangunlah sebuah Monumen 9 November 1945 di Banjarmasin yang
sekarang monumen tersebut telah tidak ada dan telah tergantikan dengan
dibangunnya kantor KPN, di kator KPN itulah dulunya ada sebuah Monumen Pertempuran
10 November 1945.
- Pada lukisan ke tiga EKSPEDISI T.R.I. LAUT yang terjadi di pantai Batakan.
- Selanjutnya pada lukisan ke empat yang ada disebelah kanan kalau dilihat dari depat depan Monumen Proklamasi 17 Mei
Pada
lukisan ini menceritakan turunnya pasukan payung pertama yang menjadi cikal
bakal TNI AU yang terjadi di Pangkalan Bun Kalimantan Tengah dan pada tanggal
21 Desember 1948 ini terjadinya Pertempuran di Hawang Cilikriwut, dan dari
kejadian itu dibangunlah sebuah tugu di Bundaran Garuda Pangkalan Bun di situ
ada terdapat sebuah Monumen yang di atasnya ada sebuah pesawat, monumen itu
peringatan sebagai pasukan terjun payung pertama yang menjadi cikal bakal
pasukan elit Angkatan Udara.
- Pada lukisan ke lima menceritakan tentang pelaksanaan Proklamasi yang dilaksanakan pada tanggal 17 Mei 1949 dan pertempuran dimarkaskan di Karang Jawa pada tahun 1949
- Di lukisan terakhir atau yang ke enam menceritakan tentang pengangkatan TAD Letkol Hasan Basry oleh pertahanan RI pada tanggal 2 Desember tahun 1949
KAMPUNG KUIN dan SEJARAH KESULTANAN BANJARMASIN
'Bandarmasih', 'Banjarmasih', atau 'Banjarmasin' ternyata merupakan
nama-nama yang sama untuk menyebut ibukota propinsi Kalimantan Selatan
yang usianya telah mencapai hampir lima ratus tahun dan sarat dengan
kisah heroik.
Keadaan Banjarmasin yang berada di bawah permukaan air laut serta
mempunyai banyak sungai -besar dan kecil- membuat masyarakatnya akrab
dengan kehidupan di air. Sungai , air dan manusia saling mempunyai
keterkaitan dan isi mengisi untuk hidup. Di beberapa tempat atau bagian
tertentu daerah aliran sungai terdapat 'pasar di atas air', atau pasar
terapung. Untuk waktu sekarang, pasar terapung di Muara Kuin merupakan
salah satu sisa dari banyak lokasi pasar terapung yang pernah ada.
Muara Kuin atau tepatnya Kampung Kuin di Kelurahan Kuin Utara sekarang,
merupakan wilayah bersejarah. Pada awal masa berdirinya, kota
Banjarmasin memang bermula di Kampung Kuin; sebuah bandar orang-orang
Melayu yang didirikan Patih Masih pada permulaan Abad 15. Kampung Kuin,
Sungai Kuin dan daerah-daerah disekitarnya menjadi tempat aktivitas
masyarakat dan kawula Kerajaan Banjar yang ramai di bidang ekonomi dan
perdagangan. Sampai keadaan berubah ketika watak dan tabiat
bangsa-bangsa kolonial memasuki wilayah ini di lain masa.
Kuin sebagai pusat pemerintahan dan ibukota Kerajaan Banjar pada masa
itu lebih popoler dengan sebutan 'Bandarmasih' atau 'Banjarmasih',
sedangkan nama 'Banjarmasin' sendiri timbul akibat kesalahan pengucapan
para serdadu kolonial dan orang-orang Belanda maupun pendatang asing
lainnya dari Erofa. Sampai sekitar tahun 1664, arsip Kerajaan Belanda
berupa surat-surat yang dikirim ke wilayah Hindia Belanda untuk
sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Banjarmasih, tetap menyebut
Kerajaan Banjarmasih dalam versi ucapan Belanda; 'Bandzermash'. Kemudian
sesudah tahun 1664 menjadi 'Bandjermassinghh', dan 'Bandjermasing'
(tanpa huruf s dan hh).
Sebagaimana kerajaan maritim bercorak Islam lainnya di Nusantara sekitar
Abad ke-16 dan ke-17, 'Banjarmasih' yang terletak di pesisir dan muara
sungai besar sekitar Muara Kuin sekarang, menggantungkan
perekonomiannya di bidang perdagangan dan pelayaran luar negeri.
Jung-jung Banjar yang besar untuk pelayaran inter-insuler dan
interkontinental, terutama untuk pelayaran ke Tanah Seberang (Jawa),
telah mampu dimiliki dan dibuat galangan kapal 'Banjarmasih'. Sehingga
sebagai pusat kerajaan dan kota pelabuhan, 'Banjarmasih' saat itu
merupakan bandar internasional yang ramai disinggahi kapal-kapal dari
berbagai wilayah Nusantara dan dari berbagai bangsa di dunia.Dalam kurun waktu itu pula, di bawah kekuasaan raja keempat; Sultan Mustain Billah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan 'Marhum Panembahan' yang memerintah tahun 1595-1620, Banjarmasih dengan pusat pemerintahan di Karang Intan-Martapura(setelah berpindah dari Kraton Banjar di Kuin yang terbakar habis akibat serangan meriam VOC Belanda, pada tahun 1612) menjadi kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya sehingga sering menerima upeti tahunan dari raja-raja yang berada di bawah pertuanan Kerajaan Banjarmasih. Menurut sebuah berita Belanda, Kerajaan Banjarmasih pernah memiliki prajurit sampai berjumlah 50.000 orang saat itu.
Dengan kekuatan sebanyak itu, wajar bila kemudian Banjarmasih mampu membendung pengaruh Tuban, Arosbaya, maupun kekuatan yang lebih besar lagi seperti Mataram yang bermaksud 'menggantikan' dominasi Demak. Mungkin itu pula sebabnya mengapa kerajaan-kerajaan Tanah Bumbu dan Pagatan, Pulau Laut, Kerasikan, Paser, Berau, Kutai di pantai timur, Kotawaringin maupun Landak, Sukadana dan Sambas di belahan tengah dan barat pulau Kalimantan mengakui pertuanan Kerajaan Banjarmasih.
Abad ke-17 itu juga merupakan saat memuncaknya perdagangan lada yang merupakan satu-satunya komoditi ekspor Kerajaan Banjarmasih. Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dibiayai dengan modal penguasa dan para bangsawan Banjar membuat armadanya mampu melintasi lautan sampai ke Aceh dan Chocin Cina. Para penguasa berusaha memperoleh tanah garapan yang lebih luas lagi untuk lahan peneneman lada.
Penanaman lada ini makin berkembang seiring kedatangan pedagang-pedagang bermodal dari luar pulau seperti Melayu dan Jawa yang membawa serta keluarga dan kapal-kapal besar. Mereka adalah penduduk bandar-bandar besar di pesisir utara pulau Jawa yang melarikan diri ketika kota-kota mereka diserbu oleh laskar-laskar Sultan Agung dari Mataram. Kedatangan para saudagar Melayu dan Jawa ini makin menambah ramai iklim perdagangan di Kerajaan Banjarmasih saat itu.
Dengan perahu-perahu layarnya, para pedagang asing dari Tiongkok, Siam, Johor, Palembang, Portugis, Inggris, Belanda datang silih berganti merapat di bandar ini untuk berniaga barang-barang komoditi seperti emas, permata, cengkih, lada, pala, champor, kulit buaya, muntiara, rotan, besi dan lain-lain. Sedangkan Banjar mengimpor perhiasan, porselen, garam, gula, tawas dan keperluan sandang untuk penduduknya.
JEJAK SEJARAH dan BUDAYA
Sepanjang daerah tepian sungai Martapura sampai ke Kampung Kuin merupakan wilayah kota lama Banjarmasin jauh sebelum berdatangannya bangsa-bangsa Erofa. Jejak-jejak sebagai kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan, kegiatan pelayaran dan perdagangan orang-orang Banjar tempo dulu masih meninggalkan sisa berupa bangunan-bangunan tua berasitektur tradisional 'rumah Banjar' yang berserakan di sepanjang tepi sungai, baik yang masih utuh, setengah ambruk ataupun yang hanya tinggal bekas-bekasnya saja lagi, dengan mudah dapat ditemukan.
Begitu juga tempat-tempat bersejarah seperti makam tokoh penyebar agama Islam 'Syekh Surgi MUfti' yang berada di Kampung Surgi Mufti. Makam pahlawan-pahlawan yang terkenal pada masa berkecamuknya Perang Banjarmasin, termasuk makam pahlawan nasional pencetus Perang Banjarmasin di tahun 1859-1905,Pangeran Antasari, yang semula berada di Muara Teweh - Kalimantan Tengah, kini dimakamkan di lokasi khusus tidak jauh dari Mesjid Jami - Banjarmasin. Selain itu ada juga masjid peninggalan raja Kesultanan Islam Banjarmasin pertama 'Masjid Sultan Suriansyah' dan komplek pemakaman dinasti Raja-raja Islam Banjarmasin di Kampung Kuin.
Sayangnya, bentuk fisik bangunan peninggalan bersejarah bekas kraton Banjarmasin pertama di Kampung Kuin yang diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1526 M, sulit ditemukan secara utuh, kecuali komplek pemakaman dan masjid kerajaan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari beberapa kali peristiwa kelabu yang menimpa kraton Banjar saat itu. Misalnya akibat yang dialami setelah penyerbuan armada kapal perang VOC Belanda pada tahun 1612 yang meluluh-lantakkan dan membakar habis Kraton Banjarmasih.
Di tahun 1612 itu Belanda mengirimkan armada kapal perangnya yaitu de Hzewind, de Brack, de Halve Maan dan Klein van de Veer untuk menyerang Banjarmasih.
Lalu pada tahun 1677, kraton yang menjadi kediaman Pangeran Adipati Anom - sultan Banjar ke sembilan, kembali rata dengan tanah akibat penyerbuan orang-orang Melayu dan Bugis. Peristiwa yang sama terjadi lagi 24 tahun kemudian, kembali bumi Banjar memerah oleh api peperangan yang disulut Inggris pada tahun 1701 sehigga memporak-porandakan kraton Banjarmasih.
Peristiwa-peristiwa penyerbuan dan peperangan dengan bangsa asing itulah yang akhirnya menghapus jejak sejarah keberadaan kraton Banjar di Kampung Kuin hampir tanpa bekas sama sekali, baik yang ada di Kampung Kuin - Banjarmasin, maupun di Karang Intan dan Kayutangi - Martapura. Jejak salah satu kerajaan maritim terbesar dan terkuat di kawasan tengah Nusantara pada permulaan Abad ke-17.
Bila diurutkan sejak di Kraton Kuin - Banjarmasin sampai di Kraton Karang Intan dan Kayutangi di Martapura, terdapat kurang lebih 20-an orang raja-raja yang memerintah dan bertahta di Kesultanan Banjarmasin. Mereka adalah :
1. Sultan Suriansyah (1526 - 1545)
2. Sultan Rakhmatullah (1545 - 1570)
3. Sultan Hidayatullah (1570 - 1595)
4. Sultan Mustainbillah (1595 - 1620)
5. Sultan Inayatullah (1620 - 1637)
6. Sultan Saidullah (1637 - 1642)
7. Sultan Tahlilullah (1642 - 1660)
8. Sultan Arm-Allah (1660 - 1663)
9. Sultan Surianata (1663 - 1679)
10.SultanAmr-Allah Bagus Kesuma (1680 - 1700)
11.Sultan Tahmidullah (1700 )
12.Sultan Hamidullah (1700 - 1734)
13.Sultan Tamjidullah (1734 - 1759)
14.Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1759 - 1761)
15.Sultan Sulaiman Saidullah (1761 - 1798)
16.Sultan Sulaiman Rakhmatullah (1801 - 1825)
17.Sultan Adam Al-Wasik Billah (1825 - 1857)
18a.Sultan Hidayatullah (1857 - 1862)
18b.Sultan Tamjidullah II (versi VOC Belanda) (1857 - 1859)
19.Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) (18.. - 1862)
20.Panembahan Muhammad Said ( ........
21.Sultan Muhammad Seman (1865 - 1905)
Ada beberapa versi dari banyak penulis sejarah mengenai urutan raja-raja Kesultanan Banjarmasin ini. Bila mengikuti versi sejarawan Banjar, setelah Sultan Aliuddin Aminullah wafat, maka pamandanya -Sultan Tamjidullah- naik tahta lagi,sekaligus sebagai wali untuk putra mahkota dari faja yang wafat.
Beberapa tahun setelah itu, ia digantikan anaknya yang di masa mudanya bernama Pangeran Natanegara atau Pangeran Natadilaga, yang mana setelah manjadi raja mempunyai banyak gelar atau sebutan sesuai zaman atau masa ia memerintah, antara lain; Susuhunan Nata Alam, Sultan Sulaiman Saidullah atau Sultan Tahmidullah II, Panembahan Batu, Panembahan Anum. Menurut M.Idwar Saleh, yang paling terkenal dari nama-nama itu adalah Susuhunan Nata Alam; salah satu raja terbesar dan terlama yang pernah memerintah/menduduki tahta Kesultanan Banjar.
Ada pun tiga orang raja terakhir (Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dan Sultan Muhammad Seman) dalam sumber-sumber sejarah lokal Banjar tidak ditemukan catatan mengenai periodesasi jabatan mereka sebagai raja-raja Banjar yang pernah berkuasa.
Sebuah buku yang diterbitkan Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan berjudul 'Urang Banjar dan Kebudayaannya', tidak mencantumkan nama-nama mereka sebagai raja-raja yang pernah ada di Kerajaan Banjar. Hal ini kemungkinan sumber pencatatan yang mereka ambil hanya berasal dari catatan-catatan pemerintah kolonial Belanda saja (lihat Noorlander, dalam 'Urang Banjar dan Kebudayaannya' 2005:28).
Begitu juga M.Idwar Saleh; dalam bukunya tidak menyinggung sama sekali dua raja terakhir dalam periodesasi pemerintahan raja-raja Banjar. Dalam catatannya hanya sedikit ada disebutkan nama Pangeran Hidayatullah, dimana pada tahun 1860 -1862 Pangeran Hidayatullah di angkat oleh rakyat Kerajaan Banjar sebagai raja. Padahal raja terakhir -Sultan Muhammad Seman- termasuk salah satu raja yang terlama memerintah dan fenomenal di Kerajaan Banjar, walaupun statusnya adalah raja yang memerintah dalam masa peperangan. Kenapa dikatakan fenomenal? Sepanjang seluruh masa pemerintahannya selama lebih dari 40 tahun (1863 - 25 Januari 1905), beliau berada dalam kondisi antara hidup dan mati. Dalam rentang waktu kehidupan sejak masa kelahiran beliau, Keerajaan Banjar (Pemerintahan Pagustian) yang beliau dan ayahnda beliau pimpin berada dalam posisi berperang dengan Pemerintahan Kolonial Belanda yang dipimpin Residen Belanda di Banjarmasin.
Sultan Muhammad Seman mewarisi darah ksatria tulen; perpaduan yang sangat kental antara keturunan raja-raja Banjar terdahulu malalui Pangeran Antasari dengan para ksatria Dayak melalui ibunda beliau yang adalah saudara kandung dari Tumenggung Surapati yang merupakan kepala suku Dayak Siang Murung. Ibunda beliau (Nyai Fatimah) adalah perempuan Dayak Siang Murung yang dinikahi oleh Pangeran Antasari, ayahanda beliau, yang saat itu menjadi Pimpinan Perang Tertinggi sekaligus Kepala Pemerintahan dan Penata Agama Kerajaan Banjar.
Setelah Pangeran Antasari wafat karena sakit tua pada tanggal 11 Oktober 1862 di desa Bayan Begok - Sampirang, Muara Teweh, Gusti Muhammad Said dan Gusti Muhammad Seman oleh para pemimpin rakyat dan para kepala suku Dayak diangkat menggantikan posisi ayahanda beliau dan diberi nama Panembahan Muhammad Said dan Sultan Muhammad Seman. Setelah Panembahan Muhammad Said wafat karena sakit, Pemerintahan Pegustian dipegang oleh Sultan Muhammad Seman tetap dengan tanggung jawab sebagai Pimpinan Perang Tertinggi, Kepala Pemerintahan dan Kepala Agama. Sultan Muhammad Seman kemudian gugur sebagai syuhada dalam pertempuran sengit yang terjadi untuk ke sekian kalinya di benteng Kalang Barah - Muara Teweh melawan pasukan marsose Belanda pimpinan Letnan Christoffel.
Riwayat Pangeran Antasari dan Gusti Muhammad Seman dapat ditelusuri jauh ke belakang, yaitu di masa pemerintahan Sultan Tahmidullah atau Panembahan Kuning, yang masa pemerintahannya tidak terlalu lama. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada putera tertua bernama Pangeran Hamidullah (ketika naik tahta dinamai Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning). Sedangkan putera almarhum raja yang kedua, Pangeran Tamjidullah, dijadikan Patih atau Mangkubumi.
Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning menurunkan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah (raja ke-14) yang menikah dengan saudara sepupu beliau sendiri, yaitu anak perempuan Pangeran Tamjidullah, lalu menurunkan tiga orang anak berturut-turut Pangeran Rahmat, Pangeran Amir dan Pangeran Abdullah.
Putera raja yang kedua, Pangeran Amir, menurunkan Pangeran Mash'ud yang dikawinkan dengan Gusti Chadijah, puteri dari Sultan Sulaiman Saidullah. Dari perkawinan ini lahir Pangeran Antasari (nama kecilnya Gusti Inu Kertapati). Jadi Pangeran Amir (yang oleh Pangeran Natadilaga sebelum menjadi raja, dan dengan berkolaborasi dengan VOC Belanda, diasingkan ke Srilangka) inilah yang merupakan kakek langsung dari Pangeran Antasari, dan pedatuan oleh Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari, raja terakhir Kerajaan Banjarmasin, yang menghabiskan hampir seluruh usia Beliau untuk berperang dengan tentara kolonial Belanda di pedalaman Pulau Kalimantan.
Selasa, 25 November 2014
Historiografi Kolonial
HISTORIOGRAFI KOLONIAL
Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia oleh Belanda. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulis-penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia); pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Sesuai dengan namanya yaitu historiografi kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebut sejarah bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Mengapa demikian? Hal ini tidaklah mengherankan, sebab fokus pembicaraan adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries atau Belanda sentris. Yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali.
Historiografi kolonial adalah sebuah penulisan sejarah yang terjadi pada waktu penjajahan Belanda di Indonesia. Adapun ciri-ciri dari historiografi kolonial tersebut adalah :
- Penulisannya : Merupakan orang Belanda yang memandang orang Indonesia
dari sudut pandang Belanda / kolonial
- Bentuknya : Berupa laporan-laporan
- Sifatnya : Bersifat Eropa sentris atau lebih fokusnya Belanda sentris
- Sumber penulisan : Berita-berita dari orang pribumi
- Isi Penulisan : Berupa memori serah jabatan atau laporan khusus khusus
kepada pemerintah pusat di Batavia mengenai kekuasaan dan
perluasan wilayah pejabat yang bersangkutan. Biasanya
dilengkapi dengan angka-angka statistik yang cukup cermat
sehingga memantapkan gambaran suatu daerah. Dalam penulisannya sangat jarang membicarakan tentang kondisi rakyat di tanah jajahan.
Historiografi kolonial ditulis dengan menggunakan bahasa Belanda. Historiografi kolonial memandang kaum pribumi, Indonesia, atau tempat-tempat yang kemudian menjadi bagian dari Indonesia sebagai pinggiran dalam narasi sejarah. Banyak peristiwa – peristiwa yang tidak dicatat oleh bangsa Belanda karena adanya kepentingan lain. Karena memandang orang Indonesia dari sudut Belanda / kolonial sehingga dalam penulisannya terdapat perbedaan / penyimpangan dalam penulisannya.
Contoh dan penulis dari penulisan dari Historiografi kolonial sebagai berikut.
a) Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.
b) Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke.
c) Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.
d)
KELEBIHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Tidak disangkal bahwa historiografi masa kolonial turut memperkuat proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subyektifitas yang melekat, sejarawan kolonial berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta-fakta sungguh mencolok. Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan literatur historiografis yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial.
KELEMAHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
1. Subyektifitas Tinggi Terhadap Belanda
Subyektifitas begitu melekat pada historiografi masa kolonial. Sejarawan kolonial pada umumnya deskripsinya berorientasikan pada kejadian-kejadian yang menyangkut orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasan-kupasan yang menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosentrime pada khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya.
Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa perang bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh) maupun yang bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau brandalan.
2. Kekurangan Kualitatif dari Sejarawan-Sejarawan Kolonial
Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan dibuat-buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan hampir seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orang-orang pribumi yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat yang berfikir, yang merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang berusaha meneliti syair-syair, hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi pertimbangan dan pendapat mereka karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir tidak menceritakan akan adanya tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi dikritik. Bahwa keadaannya jauh lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran orang-orang Eropa sekarang.
3. Kekurangan Kuantitatif
Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh sistem kerahasian yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan pergawasan yang menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah bahan arsip yang banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial yang dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa exemplar pada kapal-kapal yang berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia Belanda melainkan juga tentang sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki suatu penerbitan yang sangat tidak lengkap dari missiven yang dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de Jonge memiliki hubungan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga penerbit ini tidak akan bertahan lama hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan yang di hadapi seorang sejarahwan kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia sangatlah minim.
Rabu, 19 November 2014
HISTORIOGRAFI EROPA KUNO
A. HISTORIOGRAFI EROPA KUNO
Historiografi merupakan usaha penulisan sejarah untuk merekonstruksi masa lampau. Dengan historiografi dapat melihat suatu perkembangan peradaban manusia, termasuk di dalamnya menggugah kreatifitas manusia untuk mengembangkan peradaban. Dalam perkembangannya historiografi memuat teori dan metodologi sejarah. Segala sesuatu pastilah berasal dari yang paling rendah, begitu pula historiografi Eropa yang diawali dari historiografi kuno.
Historiografi Eropa Kuno jauh berbeda dari historiografi tradisional seperti yang terjadi di Indonesia maupun negara-negara lain. Hal in dikarenakan dalam historiografi kuno tidak mengutamakan mitos dan theogoni. Orang-orang Yunani lebih mengutamakan rasionalis dan demokrasi. Dan yang jelas bahwa historiografi Eropa Kuno berorientasi pada perkembangan. Dalam historiografi Eropa kuno mengakar kuat rasa patriotisme sehingga tulisannya pun banyak mengangkat tentang perang dan kejayaan suatu imperium. Sebelum adanya historiografi Eropa kuno, suatu sejarah pada awalnya berbentuk lisan atau yang lebih dikenal dengan tradisi lisan. Akan tetapi setelah manusia mengenal tulisan maka penyampaian sejarah ini pun berubah menjadi tradisi tulis. Penulisan awalnya masih berbentuk puisi atau syair. Bentuk ini kemudian berubah menjadi prosa setelah adanya usaha penulisan sejarah oleh Herodotus.
Historiografi Eropa kuno yang berbentuk puisi dan syair tadi merupakan karya yang diperkenalkan oleh Homer. Dalam karya Homer ditulis berdasarkan cerita-cerita lama, seperti halnya menceritakan tentang kehancuran Troya pada 1200 SM. Tulisan tersebut banyak mengandung informasi mengenai kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat pada saat itu. Tulisan sejarah yang berkembang menjadi prosa dan diciptakan oleh Herodotus tersebut berkembang pada abad ke-6 SM tepatnya di Ionia. Hal ini dikarenakan pada waktu itu adanya kebebasan ekspresi untuk masyarakat. Sedangkan dalam kebudayaan muncul filsafat spekulatif yang mempersoalkan asal usul dan struktur dunia.
Tulisan sejarah berkembang lagi menjadi sebuah karya dokumen pada masa Thucydides. Selain itu dalam karyanya digunakan sebuah metode yaitu metode kritis untuk melakukan kritik terhadap sumber sehingga didapatkan sebuah karya yang akurat dan obyektif. Metode ini masih digunakan dan berkembang pada masa Ploybius.
B. SEJARAWAN MASA EROPA KUNO
1. HERODOTUS
Herodotus dikenal sebagai Bapak Sejarah. Herodotus merupakan Pelopor perubahan bentuk puisi menjadi prosa (logographoi). Penulisan bentuk prosa sedikit demi sedikit telah merubah tradisi yang ada, hal ini dikarenakan penulisan sejarah sudah berusaha menghilangkan unsur theogoni dan mitos. Dalam karyanya Herodotus berusaha untuk merubah theogoni dan mitos menjadi rasional. Selain menulis tentang sejarah, Herodotus juga menulis tentang Sosiologi dan antropologi.
Karya Herodotus yang paling populer adalah “Greco-persian Wars”. Perang Yunani-Persia terjadi pata tahun 460 – 479 SM yang menceritakan tentang Perang antara peradaban Hellenic dan timur (Persia), dan akhirnya dimenangkan oleh Yunani. Dengan karya inilah Herodotus mencoba untuk merintis penulisan sejarah dengan menggunakan unsur kajian ilmiah. Dalam tulisannya dijumpai keanekaragaman pengalaman dan aktivitas dari berbagai tempat di masa lalu. Kecermatan dalam penulisan menimbulkan kesan bahwa semua yang ditulisnya nampak sekali seperti laporan pengamatan mata, sehingga tulisannya tidak mempunyai keakuratan. Selain itu Herodotus juga menggunakan sumber lisan untuk menyusun karyanya. Ide-idenya banyak mempengaruhi gaya para sejarawan dunia kuno, namun bukan pada isinya.
2. THUCYDIDES
Thucydides adalah seorang Jenderal Perang Athena dan terlibat langsung dalam Perang Peloponesia antara Athena dan Sparta. Untuk menguraikan terjadinya perang Peloponesos ini, maka Thucydides menulis tentang “Perang Peloponesos”. Perang ini mengungkapkan perang antara demokrasi dan tirani yang dimenangkan oleh Athena. Tulisannya ini dianggap sebagai laporan perang yang tidak memihak walaupun sejarah yang ditulisnya terbatas pada politik, diplomasi dan perang, akan tetapi akurat dan berusaha menghindari penjelasan supernatural seperti tulisan puisi maupun syair. Walaupun tulisannya dikatakan tidak memihak sebelah dan ditulis secara mendetail, akan tetapi rasa berat sebelah tetap ada mengingat dirinya adalah seorang Jenderal Perang Athena dimana dalam perang ini dimenangkan oleh Athena.
Karya Thucydides memberikan sumbangan besar dalam ilmu sejarah. Thucydides telah berusaha untuk menggnakan kritik smber dan metode sejarah dalam penulisannya. Thucydides beranggapan bahwa kekuatan dalam penulisan sejarah tergantung pada data yang akuat dan relevansi dengan menyeleksi berbagai sumber, sehingga diharapakan tulisannya nanti akan menjadi sebuah karya sejarah kritis. Dia menggunakan berbagai sumber termasuk inskripsi dan bukti yang disediakan oleh orakel-orakel untuk melengkapi dan memperkuat catatannya tentang peristiwa-peristiwa, selain itu juga memakai bukti material untuk menyempurnakan catatannya tentang kejadian masa lampau. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa Thucydides memang berusaha untuk membuat sebuah karya yang bagus. Dikarenakan prinsip yang dianut oleh Thucydides ini, dia mendapatkan gelar sebagai “Bapak Sejarah Kritis”.
3. POLYBIUS
Polybius adalah orang Yunani yang dibesarkan di Romawi. Karya-karya Polybius banyak menuliskan tentang perpindahan kekuasaan dari Yunani ke Romawi. Sama dengan Thucydides, Polybius juga berjasa dalam pengembangan sejarah kritis. Sedangkan dalam metodologi sejarah Polybius mengemukakan pentingnya geografi dan topografi dalam sarana pendukung penulisan sejarah. Dia beranggapan bahwa sejarah adalah filsafat yang mengajar melalui contoh.
Polybius membedakan analisis dalam 3 unsur, yaitu awal (archai), dalih (Prophaseis) dan sebab (aitiai). Dalam prinsipnya bahwa manusia itu haruslah mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah-masalah moral dan pergantian nasib. Akan tetapi karya Polybius ini dalam tulisannya bersifat didaktis, terlalu bertele-bertele sehingga karyanya tidak terlalu popular.
4. TITUS LIVIUS
Lyvius merupakan sejarawan dari Romawi, sehingga karya-karya yang dihasilkan berkisar pada imperium Romawi. Karyanya yang terkenal adalah “History of Rome”. Karya ini berusaha untuk menggambarkan kebesaran Romawi termasuk didalamnya kehidupan rakyat kecil, kekejaman para mandor terhadap para pekerja, dasar-dasar hukum Romawi, proses perkembangan pemerintahan, perkembangan teori politik, moral dan juga hubungan antar tradisi. Sebelum menulis, Livius membaca terlebih dahulu, menerjemahkan dan menyusun ulang informasi agar sesuai dengan peristiwa dan tema-tema penting, dan berusaha menyelesaikan hal-hal yang kurang familiar.
Livius merupakan orang pertama yang menggunakan imajinasi dalam karya-karyanya maka dari itu Livius mengorbankan kebenaran sejarah demi sebuah retorika, hal ini dikarenakan dia telah menulis sejarah Romawi sebagai sebuah negara dunia dengan segala semangat patriotismenya. Kisah tentang berdirinya kota Roma menjadi campuran antara fantasi dan fakta. Hal ini menyebabkan dia disebut sebagai sejarawan yang tidak ahli.
5. TACITUS
Tacitus merupakan sejarawan Romawi yang berusaha untuk mengemukakan “sebab moral” keruntuhan Romawi. Tacitus berusaha untuk melihat kebelakang bukan kedepan untuk melihat akar-akar persoalan-persoalan politik yang terjadi di tahun-tahun awal kerajaan Roma. Selain itu dia juga menulis tentang bangsa Jerman dan menjadi satu-satunya literatur tentang Jerman. Banyak para sejawaran yang berpendapat bahwa kartya-karya Tacitus memiliki kualitas sastra yang cukup tinggi.
Dia mengisahkan secara detail mengenai sebuah kerajaan yang tengah bergerak menghancurkan dirinya sendiri. Banyak orang yang mengatakan bahwa Tacitus merupakan “ suara otentik Roma kuno dan pelukis besar Jaman Kuno”. Setiap halaman dari tulisannya menunjukkan kemampuan retorik. Tacitus memakai orasi langsung dan orasi buatan untuk melukiskan karakter, meringkaskan pemikiran kelompok-kelompok, menyampaikan rumor masyarakat, memperkuat penegasan dan menegaskan posisi moral-politik.
C. CIRI-CIRI HISTORIOGRAFI EROPA KUNO
Sesungguhnya tidak ada ciri-ciri yang menonjol dalam histoiografi Eropa kuno ini, hal ini dikarenakan penulisannya didasarkan pada waktu dan historiografi Eropa Kuno ini sifatnya berupa perkembangan. Selain itu setiap sejarawan yang hidup pada masa tersebut berusaha untuk menulis sejarah degan pandangan dan orientasi yang berbeda, sehingga dalam penulisannya pun juga berbeda-beda. Maka dari itu, tidak didapati ciri-ciri yang jelas dalam historiografi Eropa terutama Eropa kuno. Walupun demikian disini akan dicoba untu memaparkan beberapa ciri yang dapat mewakili dari zaman Eropa kuno ini. Beberapa ciri-ciri historiografi Eropa kuno antara lain:
1. Visi
Visi historiografi Eropa Kuno ini lebih pada rasionalistis dan demokratis. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa orang-orang Yunani dan romawi menganut banyak dewa, akan tetapi mereka tidak pernah berorientasi pada dewa sentries, walaupun demikian mereka masih memegang mitos dan theogoni. Dan yang utama pada masa ini dalam penulisannya ditujukan pada jiwa patriotik.
2. Isi
Isi dari tulisan yang dihasilkan pada masa ini adalah yang berisikan kepahlawanan. Artinya tulisan diorientasikan pada perjuangan karena yang ditulis masih sekitaran perang dan juga kekuatan dari sebuah imperium besar. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa para penulis cenderung berat sebelah. Hal ini dikarenakan dalam posisinya para penulis berada dalam pihak yang menang ketika suatu perang tersebut berlangsung, baik mereka ikut langsung maupun sebagai pengamat saja.
3. Penyajian
Penyajian historiografi Eropa kuno tidak hanya dalam satu bentuk penyajian saja, akan tetapi bervariasi. Dalam karya Herodotus ditulis dalam bentuk prosa (logographoi). Bentuk ini merupakan pembaharuan dari bentuk puisi atau syair. Sedangkan pada karya Thucydides, Polybius, Tacitus maupun Livius karyanya berbentuk dalam dokumen. Sebagai contohnya adalah perang Peloponesos karya Thucydides. Penyajian dalam bentuk dokumen ini dipengaruhi oleh gaya dari penulis sendiri yang sudah mulai menggunakan sejarah kritis dan metode sejarah dengan menghilangkan mitos dan theogoni.
D. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN HISTORIOGRAFI EROPA KUNO
Suatu karya tentunya memiliki kelebihan tersendiri, akan tetapi juga memiliki kelemahan. Begitu pula dengan historiografi Eropa kuno. Sudah dikatakan bahwa dalam historiografi Eropa kuno setiap penulisan beda baik dalam penyajian, isi maupun visinya, sehingga kelebihan dan kekurangannya pun juga berbeda-beda antara penulis yang satu dengan penulis yang lain. Kelebihan dari historiografi Eropa kuno diantaranya adalah mampu menggugah rasa nasionalisme, hal ini disebabkan isi dari historiografi Eropa kuno lebih menyoroti tentang perang yang menunjukkan patriotisme, baik yang dirasakan oleh penulis sendiri maupun hanya dengan cara mengumpulkan data dan bertanya-tanya kepada saksi dan pelaku.
Karya Herodotus yang bersifat nasionalis dijadikan sebagai karya terbaik saat itu untuk mendidik bangsa Yunani yang digunakan untuk menumbuhkan nasionalisme. Karya Herodotus ini mempengaruhi gaya pawa sejarawan pada masa berikutnya. Dalam tulisannya Herodotus juga menggunakan sumber dari berbagai belah pihak, baik dari Yunani maupun dari Timur. Sedangkan karya Thucydides dan Polybius memiliki keunggulan lain, mereka telah berusaha untuk menggunakan metode sejarah yang berupa kritik sumber. Hal ini menunjukkan adanya suatu kemajuan yang sangat positif dalam penulisan sejarah. Selain itu dari segi isinya bersifat objektif. Keobjektifan ini bersumber pada penerapan metode kritis tersebut. Thucydides menulis karyanya dengan akurat dengan menggunakan metode kritis. Selain itu Thucydides juga telah menghilangkan unsur supernatural. Sedangkan dalam karya Livius dia lebih menekankan pada sejarah yang komprehensif.
Walupun demikian historiografi Eropa kuno juga memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan yang ada diantaranya nilai berat sebelah itu tetap ada walaupun sudah diusahakan seobjektif mungkin. Hal ini bisa dilihat dalam karya Thucydides, dia adalah seorang jenderal perang Athena. Dalam perang Peloponesia ini Athena mendapatkan kemenangan, sehingga mau tidak mau rasa berat sebelah itu akan muncul. Begitu pula dalam karya Herodotus, dia sangat mengagung-agungkan kebudayaan Yunani dan menganggap kebudayaan Parsi (Timur) sebagai kebudayaan yang terbelakang. Selain itu karya Herodotus walaupun menggunakan sumber dari kedua belah pihak, dalam tulisannya masih saja terdapat unsur supernatural, sehingga membuat nilai dari karyanya ini tidak sempurna. Sedangkan dalam karya Titus dia menggunakan daya imajinatif, adanya pengorbanan kebenaran sejarah demi sebuah retorika.
Perkembangan Historiografi Di indonesia
Perkembangan Historiografi Di indonesia
e. Sudah mendapat komparasi / perbandingan sumber colonial dan local
Pada
umumnya, histriografi sejarah Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu
historiografi tradisional, historiografi colonial, dan historiografi nasional
1. Historiografi Tradisional
Historiografi radisionala dalah penulisan sejarah yang
apda umumnya lebih mengedepankan unsur keturunan (genealogi), tetapi mempunyai
kelemahan dalam struktur kronologi. Historiografi tradisional umumnya berisi
tentang kerajaan, kehidupan raja,d an sifat-sifat yang melebih-lebihkan raja
dan apra pengikutnya. Penulisan sejarah tradisional berkembang pada masa hindu
– Budha dan Islam.
Ciri-ciri historiografi tradisional adalah:
a. Merupakan refleksi /
gambarna cultural
b. Mengandung unsur mitos
c. Alam dipercaya mempunyai
kekuatan dalam jalannya sejarah
Contoh historiografi
tradisional, anatra lain kitab Arjuna Wiwaha, kakawin baratayudha, dan kidng
rangga lawe (masa hindu-Budha); Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Hikayat
Raja-Raja Pasa, dan Hikayat Aceh (masa Islam)
Pada masa penjajahan Barta, sumber-sumber local yang
berupa babad atau hikayat tidak dijadikan sumber dalam penulisan sejarah pada
masa itu. Veth berpendapat bahwa sumber-sumber lokal penuh dengan hal-hal yang
bertentangan dan tidak masuk akal. Apabila hal-hal yang tidak masuk akal atau
meragukan tersebut dibuang dari sumber-sumber tersebut maka tidak ada lagi
bahan yang dapat dijadikan sumber untuk penulisan sejarah. Oleh karena itu,
pada waktu Veth menulis bukunya tentang sejarah Indonesia, sumber-sumber local
mengenai abad ke – 17 dan 18 tidak digunakan.
Para
sejarawan Belanda pada masa itu menganggap bahwa bahasa pada sumber-sumber lokal
tidak bisa atau susah dimengerti karena tetlalu berbelit-belit. Oleh karena
itu, para sejarawan Belanda hanya mengandalkan sumber-sumber atau arsip Belanda
yang dianggap cukup banyak sehingga tidak memerlukan sumber local.
2. Historiografi Kolonial
Karena
selama satu abad lebih bangsa Eropa
memegang hegemoni dunia maka dunia barat memandang bahwa Eropa di yakini
sebagai pusat dari sejarah dunia dan pusat dari segala-galanya. Keyakinan
tersebut salah satunya didukung oleh Leopord von Ranke. Dia berpendapat bahwa
sejarah dunia adalah sejarah dari Barat semata. Sejarah bangsa-bangsa lainnya
tidak dianggap sebagais ejarah dunia. Sejarah bangsa-bangsa lainnya tersebut
baru dibahas ataud icantumkan jika ada sangkut pautnya dengan bangsa Eropa. Pandangan tersebut kemudian
melahirkan karya-karya sejarah yang
bersifat colonial atau historiografi colonial.
Historiografi
koloniala dalah penulisan sejarah Indonesia yang ditulis untuk kepentingan dan
dengan cara pandang colonial Belanda atau bersifat Eropasentris atau
Nearlandosentris. Peristiwa yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan
Belanda ditulis berdasarkan kepentingan Belanda. Historiografi colonial berisi
kisah orang-orang Belanda di tanah jajahan (Indonesia) dan orang-orang pribumi yang memiliki peran dan
mendukung kepentingan pemerintah colonial. Orang-Orang pribumi yang tidak
memiliki peran dan menentang kepentingan pemerintah colonial tidak masuk dalam
sejarah kolonial.
Ciri-ciri historiografi kolonial
adalah
a. Bersifat diskriminatif;
b. Menggunakan sumber-sumber
Belanda;
c. Berisi tenang sejarah
orang besar dan sejarah politik;
d. Merupakan sejarah orang
Belanda di tanah jajahan (Indonesia)
e. Menganggap bahwa Indonesia
belum memiliki sejarah sebelum kedatangan orang-orang Belanda
Penulisan historiografi kolonial
dipelopori oleh penulis-penulis Belanda sebagai berikut :
a. F. Valentijn (1666-1727)
melalui karyanya yang berjudul Oud en
Nieuw oost Indien
b. Veth melalui karyanya
yang berjudul Java, Geografisch, Etnologisch, Historisch
c. Eykman dan Stapel melalui
karyanya yang berjudul Beknopt Leerboek der Geschiedenis van
Nederlandsch-Indie.
d. Van dam melalui karyanya
yang berjudul Beschrijvinge der O.I. Compagnie.
3. Historiografi Nasional
Historiografi
Nasional adalah penulisan sejarah Indonesia yang dilakukan menurut kacamatan
bangsa Indonesia dengan tetap berpegang pada aturan metode sejarah. Tokoh yang
mempelajari penulisan sejarah nasional Indonesia adlaah Prof. Dr. Sartono
Kartodirdjo. Beliau menulis sejarah Indonesia
dengan menggunakan konse pendekatan multidimensional. Artinya, suau
peristiwa sejarah ditulis dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial, seperti
antropologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu ekonomi.
Ciri-ciri hisoriografi Indonesia
adalah sebagai berikut :
a. Sumber yang digunakan
tidak hanya babad, tetapi juga hikayat, berita Cina, dan sumber arkeologis
b. Penulis adalah
orang-orang akademisi yang kritis dalam bidang bahasa, kesusastraan, dan
kepurbakalaan.
c. Tidak hanya mengangkat
sejarah orang-orang besar dan Negara saja, tetapi lebih pada kemanusiaannya,
yaitu kebudayaan.
d. Sumber tidak lagi hanya
sumber arsip, tetapi juga sumber local.
e. Sudah mendapat komparasi / perbandingan sumber colonial dan local
Langganan:
Postingan (Atom)